Kamis, 30 Oktober 2008

Peistiwa G30S/PKI

tulisan ini dibuat untuk mengajak orang untuk tidak saja mengenang kembali peristiwa besar yang merupakan pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno dan revolusi rakyat Indonesia dalam menentang nekolim (neokolonialisme imperialisme) yang dikepalai oleh imperialisme AS., melainkan juga sekaligus untuk merenungkan kembali berbagai kebengisan dan kebiadaban sejumlah golongan, yang di bawah pimpinan Angkatan Darat telah melakukan pelanggaran HAM yang besar dan serius sekali, yaitu pembantaian besar-besaran terhadap golongan kiri, terutama terhadap anggota-anggota dan simpatisan PKI.

Pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno yang sejak mudanya sudah berjuang melawan anti-imperialisme dan juga pelanggaran HAM secara besar-besaran terhadap golongan “kiri” perlu terus-menerus diingat oleh bangsa kita, sehingga menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Mengenang kembali pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno dan mengutuk pelanggaran HAM terhadap jutaan orang-orang “kiri” yang tidak bersalah apa-apa sama sekali adalah suatu hal yang benar, atau sikap yang adil dan bahkan terpuji. Sebaliknya, menyetujui atau membenarkan pengkhianatan Suharto dkk terhadap Bung Karno adalah sikap politik yang salah. Lebih-lebih lagi (!!!) , menyetujui, atau membenarkan, atau - bahkan ! - hanya “berdiam diri” saja terhadap pelangggaran HAM yang begitu besar terhadap orang tidak berdosa yang begitu banyak jumlahnya, dan dalam waktu yang begitu lama pula, adalah suatu hal yang menunjukkan kerendahan budi dan kebusukan iman.

Bangsa kita tidak beradab, kalau .....

Jelaslah kiranya bahwa bangsa kita tidak bisa menamakan diri sebagai bangsa yang beradab atau bahkan tidak pantas sama sekali mengagungkan diri sebagai bangsa terhormat selama masih menganggap bahwa pembantaian jutaan orang yang dianggap “kiri” atau dituduh anggota dan simpatisan PKI atau penganut politik revolusioner Bung Karno adalah benar, atau sah, atau adil. Atau, jelaslah juga bahwa bangsa kita tidak bisa dikatakan sebagai menghormati Pancasila selama masih gembira (atau tidak peduli saja) atas berbagai macam penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi terhadap puluhan juta keluarga korban peristiwa 65 yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kita semua sama-sama bisa mengamati bahwa sekarang ini pandangan berbagai kalangan terhadap Bung Karno sudah mulai berobah, dan bahwa usaha Orde Baru untuk merusak nama baik dan menghilangkan jasa-jasa besar bapak bangsa ini sudah mulai mengalami kemunduran atau kegagalan. Sebaliknya, kita juga sama-sama menyaksikan, dimana-mana, bahwa dewasa ini citra Suharto dkk bersama Orde Barunya sudah makin buruk. Banyak orang, sekarang ini, melihat betapa besar bedanya antara sosok Bung Karno dan sosok Suharto, dan antara politik anti-nekolim Bung Karno dan politik pro-imperialisme AS yang dianut oleh Orde Baru. Kerusakan moral secara besar-besaran dan kebejatan akhlak yang menyebabkan keadaan politik, sosial dan ekonomi negara kita terpuruk sampai dewasa ini di bawah pemerintahan SBY-JK adalah akibat dari sisa-sisa sistem Orde Baru, yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan pasca-Suharto.

Mengutuk Orde Baru demi rekonsiliasi nasional dan persatuan bangsa

Dari sudut pandang yang demikian inilah kita bisa melihat dengan jelas bahwa mengenang peristiwa 65 dan mengekspose berbagai kejahatan atau keburukan Suharto dkk dengan Orde Barunya adalah tugas penting dan kewajiban yang utama sekali bagi seluruh kekuatan yang mendambakan adanya perubahan-perubahan yang besar dan fundamental yang diperlukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Bangsa kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang terhormat selama masih belum meninggalkan sama sekali segala keburukan dan kesalahan Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan. Perbaikan atau perubahan secara besar-besaran di negara kita tidak mungkin akan terlaksana tanpa membongkar segala keburukan dan kebusukan Orde Baru dan penerusnya atau pewarisnya.

Jadi, sekali lagi perlu ditekankan dalam tulisan kali ini, bahwa mengutuk Suharto beserta rejim Orde Barunya adalah sama sekali bukanlah hanya karena pelampiasan perasaan balas dendam, atau hanya membuka luka-luka lama yang parah sekali karena berbagai penderitaan bagi puluhan juta orang, dan bukan pula dengan tujuan untuk menyengsarakan keluarga Suharto beserta pendukung-pendukung setianya. Mengenang peristiwa 65 atau membelejedi (menelanjangi) kejahatan-kejahatan Suharto dkk adalah langkah penting untuk benar-benar meletakkan dasar-dasar bagi terjadinya rekonsiliasi nasional, dan betul-betul memupuk persatuan bangsa atas landasan yang adil bagi semua.

Sebab, rekonsiliasi nasional yang sejati dan persatuan bangsa yang sungguh-sungguh hanyalah bisa dijalin kalau segala kesalahan besar Suharto beserta dosa-dosa parah Orde Barunya sudah dibongkar habis-habisan atau dikutuk sekeras-kerasnya. Adalah omong kosong belaka atau bualan besar saja kalau ada kalangan yang berbicara tentang rekonsiliasi nasional atau persatuan bangsa tetapi membiarkan dosa-dosa Suharto dkk dengan Orde Barunya, karena sekarang makin terbukti bahwa ia (beserta pendukung-pendukung setianya) telah membikin kerusakan-kerusakan parah terhadap negara dan sebagian besar rakyat Indonesia. Dan juga jelaslah bahwa rekonsiliasi nasional atau persatuan bangsa sulit dijalin, kalau puluhan juta keluarga korban peristiwa 65 masih tetap terus dibiarkan dirundung berbagai penderitaan yang sudah mereka alami selama lebih dari 40 tahun.

Kami tidak bersalah dan kalianlah yang berdosa

Perbaikan atau perubahan besar di bidang politik, sosial dan ekonomi yang bisa menguntungkan kepentingan rakyat banyak di Indonesia hanyalah akan tercapai dengan memberantas segala sisa-sisa buruk dari sistem Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Suharto. Artinya, - dengan kalimat lain - untuk bisa mambawa Indonesia ke arah masyarakat adil dan makmur, orang-orang yang bermoral rendah dan bermental Orde Baru harus - untuk selanjutnya - dicegah mengurus negara, baik di Pusat maupun di daerah.

Peristiwa 65 akan kita peringati tahun ini ketika sudah makin berkurang kalangan atau golongan yang masih berani berkaok-kaok dengan terang-terangan mengagung-agungkan Suharto dan memuji-muji “kehebatan” rejim Orde Baru. Sesudah Suharto dipaksa “turun dari tahta”nya sejak tahun 1998, sedikit demi sedikit terbongkarlah macam-macam kejahatan rejimnya, baik yang merupakan pelanggaran HAM yang amat serius maupun korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang terutama dilakukan oleh kalangan militer dan Golkar. Oleh karena itu, boleh dikatakan, bahwa sekarang ini, membela Suharto dkk atau membela Orde Baru sudah mulai menjadi “sikap yang aneh”.

Sebaliknya, orang dari berbagai kalangan dan golongan (termasuk yang tadinya mendukung Suharto karena terpaksa atau karena sebab-sebab lainnya) makin banyak yang berani mengutuk rejim Orde Baru dan yang melihat perbedaaan yang besar sekali antara sejarah perjuangan revolusioner Bung Karno dengan sejarah pengkhianatan Suharto dkk terhadap rakyat dan revolusi. Juga, makin banyak orang yang melihat bahwa karena akibat sikap politik Suharto beserta para pendukung setianyalah maka keadaan negara kita begini ambrul-adul dan dilanda berbagai masalah besar, sehingga sebagian terbesar dari rakyat Indonesia yang 230 juta ini mengalami berbagai penderitaan. Banyak orang yang menyaksikan atau mengalami sendiri bahwa kehadiran Suharto beserta Orde Barunya selama 32 tahun merupakan halaman hitam yang penuh dengan dosa atau aib besar dalam sejarah bangsa Indonesia.

Karenanya, sekarang dalam tahun 2008 ini, para pendukung Bung Karno dan kaum kiri beserta keluarga korban peristiwa 65, berhak dan pantas dengan suara yang lantang dan galak berteriak: “Kami sama sekali tidak bersalah apa-apa, tetapi justru kalianlah yang bersalah dan berdosa !”. Dengan makin terbongkarnya banyak sekali borok-borok yang busuk karena merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang bermoral bejat dari kalangan pendukung Orde Baru dan anti-Bung Karno, maka makin mulai matanglah situasi bagi seluruh kekuatan demokratis (terutama dari kalangan muda) yang mendambakan perubahan besar dan fundamental di Indonesia untuk bangkit bersama dan melancarkan seruan “Minggirlah kalian yang bermental Orde Baru, perusak negara! Indonesia tidak membutuhkan orang-orang macam kalian. Kamilah yang akan membangun masyarakat adil dan makmur di Indonesia Baru !!!”.